Model Kirkpatrick, Cara Efektif Proses Evaluasi Pelatihan SDM
Banyak organisasi berinvestasi besar dalam program pelatihan SDM, tetapi tidak semua tahu apakah pelatihan tersebut benar-benar membawa perubahan. Apakah peserta hanya menikmati sesi belajarnya atau mereka juga menerapkan hal baru di pekerjaan? Apakah pelatihan berdampak pada hasil bisnis?
Untuk menjawab pertanyaan itu, organisasi perlu memiliki proses evaluasi pelatihan SDM yang terstruktur. Salah satu kerangka yang paling banyak digunakan adalah Model Kirkpatrick. Model ini membantu kita melihat efektivitas pelatihan dari berbagai sisi, mulai dari reaksi peserta hingga hasil bisnis yang dihasilkan.
Apa Itu Model Kirkpatrick?
Model Kirkpatrick dikembangkan oleh Dr. Donald Kirkpatrick sejak 1959 dan hingga kini menjadi standar di berbagai belahan di dunia dalam mengukur efektivitas pelatihan. Model ini menilai pelatihan sdm melalui empat level yang saling berkaitan:
- Reaction: Bagaimana peserta merespons pelatihan.
- Learning: Apa yang peserta pelajari.
- Behavior: Bagaimana penerapannya di tempat kerja.
- Results: Dampak pelatihan terhadap hasil bisnis.
Dengan mengikuti keempat tahap ini, proses evaluasi pelatihan SDM menjadi lebih menyeluruh dan membantu organisasi melihat hubungan antara pembelajaran, perilaku, dan hasil nyata di lapangan.
Level 1: Reaksi (Reaction)
Level pertama dalam Model Kirkpatrick menilai bagaimana peserta merasakan pengalaman pelatihan, seberapa menarik, relevan, dan memuaskan program tersebut.
Evaluasi biasanya dilakukan melalui survei setelah pelatihan seperti menggunakan skala 1–5 untuk menilai pengalaman belajar. Fokusnya adalah pada pandangan peserta, bukan fasilitator atau materinya, untuk memahami apa yang benar-benar mereka rasakan dan pelajari.
Meskipun data reaksi membantu melihat tingkat kepuasan peserta, hasil ini belum menunjukkan apakah pelatihan berdampak pada performa kerja atau hasil bisnis. Level 1 penting untuk memastikan pengalaman belajar yang menyenangkan, relevan, dan memotivasi, sekaligus mengidentifikasi hambatan yang bisa mengganggu penerapan hasil belajar.
Melalui pengukuran di level ini, organisasi dapat:
- Memahami seberapa baik pelatihan diterima.
- Menyempurnakan program untuk batch berikutnya.
- Menemukan materi penting yang perlu diperkuat.
Teknik evaluasi paling umum adalah survei singkat di akhir pelatihan, baik melalui formulir kertas, wawancara cepat, maupun survei digital. Untuk pelatihan daring, survei bisa dikirim via email, disisipkan dalam modul e-learning atau melalui LMS.
Contoh Penerapan Level 1 dalam Proses Evaluasi SDM
Sebuah perusahaan manufaktur mengadakan pelatihan leadership untuk mid–senior manager dengan fokus pada strategic alignment, bagaimana para pemimpin dapat mengomunikasikan arah organisasi dan menerjemahkannya menjadi prioritas tim.
Setelah sesi pelatihan, peserta diminta mengisi survei online untuk menilai seberapa relevan materi dengan tantangan kepemimpinan mereka, seberapa menarik metode fasilitasi, dan sejauh mana pelatihan membantu mereka memahami perannya dalam menyatukan arah strategis organisasi.
Data dari survei ini membantu organisasi atau perusahaan dalam memahami bagaimana pelatihan diterima peserta dan menemukan area yang perlu diperkuat agar batch berikutnya lebih relevan dan berdampak.
Level 2: Pembelajaran (Learning)
Level kedua dalam Model Kirkpatrick menilai sejauh mana peserta memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap, serta rasa percaya diri dan komitmen yang diharapkan dari pelatihan. Intinya, tahap ini menjawab pertanyaan: “Apakah pelatihan benar-benar membantu peserta mempelajari hal-hal yang ditargetkan?”
Evaluasi dilakukan melalui berbagai cara, seperti tes pra dan pasca pelatihan, kuis, wawancara, hingga metode praktis seperti role play atau simulasi. Pendekatan ini membantu memastikan bahwa peserta tidak hanya memahami teori, tetapi juga mampu menerapkannya.
Selain mengukur kemampuan, Level 2 juga melihat rasa percaya diri dan komitmen peserta, dua faktor penting yang memengaruhi keberhasilan penerapan pembelajaran di tempat kerja.
Oleh karena itu, proses penilaian perlu dirancang sejak awal untuk menjaga konsistensi data. Pre-test dan post-test menjadi cara efektif untuk melihat perubahan kemampuan peserta secara objektif.
Contohnya, jika pelatihan mengajarkan cara mengganti ban mobil, peserta diminta langsung mempraktikkan di depan fasilitator. Keberhasilan menunjukkan efektivitas pelatihan. Sebaliknya, kendala yang muncul bisa menjadi masukan untuk perbaikan program.
Untuk keterampilan kognitif, kuis atau tes tertulis efektif asalkan pertanyaannya selaras dengan tujuan pembelajaran.
Contoh Penerapan Level 2 dalam Proses Evaluasi SDM
Untuk memastikan peserta benar-benar memahami keterampilan strategic leadership yang diajarkan, mereka mengikuti simulasi kasus organisasi, yaitu peserta diminta memetakan strategi divisi agar selaras dengan tujuan bisnis perusahaan.
Dalam sesi tersebut, fasilitator menilai kemampuan peserta menganalisis konteks, mengidentifikasi key priorities, dan merumuskan pesan strategis untuk tim. Setelah simulasi, peserta mengerjakan kuis reflektif berisi 10 pertanyaan dengan batas kelulusan 80% untuk memastikan pemahaman mereka terhadap konsep utama.
Evaluasi Level 2 ini memastikan bahwa peserta tidak hanya memahami teori, tetapi juga mampu mengaplikasikannya dalam konteks nyata kepemimpinan mereka.
Baca juga: Pelatihan SDM, Kunci Pertumbuhan Manusia dan Strategi Organisasi
Level 3: Perilaku (Behavior)
Level ketiga dalam Model Kirkpatrick menilai sejauh mana peserta benar-benar menerapkan pembelajaran di tempat kerja. Data ini menjadi indikator awal apakah pelatihan berdampak nyata pada kinerja karena tujuan utama pelatihan sdm adalah meningkatkan performa dan hasil yang terukur bagi organisasi.
Evaluasi perilaku biasanya dilakukan melalui observasi, laporan supervisor, atau check-in rutin, serta didukung sistem akuntabilitas seperti feedback. Penting dilakukan tidak lama setelah pelatihan agar organisasi bisa segera menyesuaikan program jika penerapan belum optimal.
Untuk menilai penerapan pembelajaran di dunia kerja, organisasi dapat menggunakan pengamatan langsung, review kinerja, atau analisis metrik yang sudah ada seperti tingkat kepuasan pelanggan, angka penjualan, atau laporan supervisor bila data spesifik belum tersedia.
Contoh Penerapan Level 3 dalam Proses Evaluasi SDM
Beberapa minggu setelah pelatihan leadership, para manajer mulai menerapkan hasil belajarnya. Mereka melakukan sesi team alignment meeting menggunakan pendekatan yang dipelajari untuk menyinkronkan prioritas tim dengan arah perusahaan.
HR melakukan observasi dan meminta feedback dari anggota tim tentang perubahan perilaku pemimpin mereka, apakah komunikasi tujuan menjadi lebih jelas, prioritas kerja lebih fokus, dan ruang kolaborasi lebih terbuka.
Jika data menunjukkan peningkatan kualitas komunikasi dan kejelasan arah tim, pelatihan dianggap berhasil mengubah perilaku kepemimpinan di lapangan. Jika belum optimal, hasil ini menjadi dasar tindak lanjut, seperti sesi coaching tambahan atau pendampingan antar-leader.
Baca juga: 7 Manfaat Experiential Learning yang Wajib Perusahaan Ketahui
Level 4: Hasil Nyata (Results)
Level 4 dalam Model Kirkpatrick menilai sejauh mana pelatihan berkontribusi langsung terhadap keberhasilan organisasi. Fokusnya bukan lagi pada perilaku individu, tetapi pada hasil bisnis yang terukur seperti peningkatan penjualan, kepuasan pelanggan, efisiensi biaya, penurunan turnover, atau ROI pelatihan.
Meski sering diabaikan karena dianggap rumit, evaluasi di tahap ini penting untuk memastikan bahwa investasi pelatihan benar-benar memberi nilai balik bagi bisnis.
Kuncinya adalah menetapkan indikator kinerja sejak awal dan menghubungkan hasil pelatihan dengan data organisasi yang sudah ada, misalnya laporan keuangan, produktivitas, atau survei pelanggan.
Salah satu cara efektif untuk menilai dampak adalah dengan membandingkan kinerja antara karyawan yang mengikuti pelatihan dan yang tidak. Jika peserta menunjukkan hasil yang lebih baik, pelatihan terbukti memberi kontribusi nyata pada kinerja organisasi.
Contoh Penerapan Level 4 dalam Proses Evaluasi SDM
Tiga bulan setelah pelatihan leadership, tim manajemen mengukur dampak bisnisnya. Mereka membandingkan data antar-departemen sebelum dan sesudah pelatihan, seperti tingkat pencapaian KPI, team engagement, dan efektivitas proyek lintas divisi.
Misalnya, hasilnya menunjukkan bahwa divisi dengan pemimpin yang telah mengikuti pelatihan memiliki peningkatan 15% pada ketercapaian target proyek dan peningkatan skor engagement sebesar 12% dibandingkan periode sebelumnya.
Data ini menjadi bukti bahwa pelatihan leadership tidak hanya meningkatkan kemampuan individu, tetapi juga berkontribusi langsung pada pencapaian strategis organisasi melalui tim yang lebih terarah dan terlibat.
Baca juga: Mengubah Cara Pelatihan Karyawan Melalui Penerapan Experiential Learning
Menggunakan Model Kirkpatrick dalam Proses Evaluasi Pelatihan SDM
Bayangkan sebuah perusahaan yang sedang memperkuat budaya kolaborasi lintas divisi setelah proses merger. Mereka ingin memastikan bahwa setiap individu menghidupi nilai perusahaan dalam cara berpikir, berinteraksi, dan mengambil keputusan sehari-hari.
Sebelum merancang program pelatihan, tim pembelajaran bisa memulai dengan:
- Level 4 (Results) dengan menanyakan dampak organisasi apa yang ingin dicapai? Misalnya, meningkatnya organizational trust score dan menurunnya konflik antar tim sebesar 30% dalam enam bulan.
- Level 3 (Behavior), perilaku apa yang perlu muncul untuk mewujudkan hasil itu? Contohnya, pemimpin dan anggota tim menunjukkan empati dalam kolaborasi, terbuka terhadap perbedaan perspektif, dan mengambil keputusan berdasarkan nilai bersama.
- Level 2 (Learning), kompetensi dan kesadaran apa yang harus dibangun agar perilaku tersebut bisa muncul? Pelatihan kemudian difokuskan pada self-reflection, value mapping, dan experiential learning yang mengajak peserta memahami bagaimana nilai-nilai organisasi terhubung dengan nilai pribadi mereka. Instrumen seperti pre-test, asesmen reflektif, atau diskusi kelompok digunakan untuk mengukur pemahaman dan kesiapan penerapan.
- Level 1 (Reaction), tim memastikan bahwa pengalaman belajar dirancang dengan pendekatan yang hangat, relevan, dan menggugah.
Dengan menyusun pelatihan berdasarkan keempat level Model Kirkpatrick sejak awal, perusahaan membangun mekanisme evaluasi yang konkret dan memastikan bahwa internalisasi nilai benar-benar membawa perubahan perilaku dan hasil organisasi yang lebih solid.
Model Kirkpatrick membantu organisasi melihat pelatihan SDM dari dua sisi, manusia dan bisnis. Model ini menjadi pendekatan reflektif untuk memahami bagaimana pembelajaran dapat menggerakkan perubahan nyata di tempat kerja.
Di Gtrust Consultancy, proses evaluasi pelatihan SDM dapat menggunakan pendekatan Model Kirkpatrick untuk memastikan pembelajaran berdampak pada kinerja dan pertumbuhan organisasi. Penerapannya juga selalu disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks tiap perusahaan.
Hubungi Gtrust Consultancy melalui email consultancy@gtrust.id atau di Nomor Telepon +62 811-1815-078 untuk merancang pelatihan SDM yang efektif, relevan, dan berdampak bagi bisnis Anda agar bisa untuk #TumbuhBersama.
Sumber
Kirkpatrick Partners. (n.d.). The Kirkpatrick model. Kirkpatrick Partners. https://www.kirkpatrickpartners.com/the-kirkpatrick-model/
Learning, Ardent. (2020). What is the Kirkpatrick model? Learn the 4 levels of evaluation. Ardent Learning. https://www.ardentlearning.com/blog/what-is-the-kirkpatrick-model
Peck, D. (2023). The Kirkpatrick model of training evaluation (with examples). Devlin Peck. https://www.devlinpeck.com/content/kirkpatrick-model-evaluation